Friday, September 19, 2008

Sovereign Hill, Ballarat...Where is my cowboy?







Kota Ballarat


Ballarat ditempuh dengan 2 jam perjalanan pake kereta api dari terminal Southern Cross Melbourne. Dalam perjalanan ini bertemu teman baru lagi, Adi, mba Ayu dan beli Made Surya beserta dua anaknya yang lucu-lucu, Erika dan Erlan. Adi, mba Ayu dan beli Made Surya merupakan dosen Udayana. Adi dan Mba Ayu sama-sama lagi ngambil Magister Public Health di Monasch. Beli Made Surya bekerja satu department dengan Wayan di Farmakologi.



Sebagian anggota rombongan minus Erika dan papa-nya


Kereta api sampai di stasiun Ballarat jam 10an. Stasiunnya sendiri adalah bangunan tua yang mirip-mirip gudang. Keluar dari stasiun, kami mendapati kota yang sunyi, hanya satu-satu mobil terlihat di jalan. Bangunannya rata-rata dibangun tahun 1800an..., sudah cukup tua, modelnya mirip-mirip daerah koboi..., beberapa gedung memiliki pintu masuk gaya barnya koboi lengkap dengan jendela kecil menghadap keluar. Well...semua bangunan ini masih bagus dan terawat dengan baik.
Berjalan kurang lebih 30 meter keluar stasiun, kami menjumpai sebuah halte bis. Bis yang ditunggu tidak muncul-muncul, sampai terfikir kalau kita nongkrong di halte yang salah atau ...?. Akhirnya mengambil keputusan untuk menelpon pusat informasi lokal yang tertera di halte. Keraguan ini hilang setelah mereka menjelaskan bahwa busnya akan nyampe dalam beberapa menit lagi. Sabar ya buk...




Di halte bus, bangunan mirip gereja di belakang adalah stasiun kereta apinya


Suasana keakraban, khas little city terasa begitu kita naik bus ke Sovereign Hill. Sopirnya sedang bercakap-cakap dengan penumpang tentang pasar, toko dan nama orang. Oh ya, karena tidak tahu biaya karcis, begitu masuk, kami langsung menanyakan berapa harga tiket ke Sovereign Hill. Sopirnya udah cukup tua, berperawakan tinggi gemuk dan ramah banget. Dengan sabar dia menjelaskan kalau turis yang datang dari luar kota dengan kereta api pulang pergi gratis menggunakan bis dalam kota Ballarat karena karcis kereta apinya sudah sekalian tiket bis untuk mengitari Ballarat....dan tentunya juga ke Sovereign Hill, daerah wisata tujuan kami. Wuah..senangnya.... Dan kayanya trik ini perlu ditiru di Indonesia ya..?
Lebih senang lagi ketika sopir yang baik hati ini blang “Don’t worry, I will tell you all when we arrive at Sovereign Hill”.
Mantap tenan....

Ballarat...sebuah kota yang pernah terkenal dengan penambangan emasnya. Sisa-sisa masa kejayaan ini masih terlihat di daerah kota. Banyaknya bangunan mirip hotel yang terlihat dari luar memiliki ukuran kamar yang mungkin kecil-kecil, dan bangunan bergaya bar menggambarkan bahwa kota ini pernah penuh oleh pendatang yang berjuang mencari keberuntungan dari bongkahan emas. Hmm..mungkin sekarang mirip kondisi di Perth yang kata temanku lagi demam emas... Memang Australia terkenal dengan emas, intan, permata dan juga intan yang belum matang alias batu baranya.Sayangnya kami tidak singgah dahulu di perkotaan Ballarat ini.

Akhirnya tiba di Sovereign Hill. Biaya masuk daerah wisatanya cukup mahal, diatas 20 AUD. Apa sih istimewanya Soverign Hill?... Di bagian karcis, kami disambut oleh orang-orang yang memakai baju ala jamannya Laura, baik ibu-ibu maupun bapaknya.
Cuaca terik banget saat itu. Dengan alasan tidak mau gosong (kulitku udah well done tanning neh) maka dibela-belain make jaket. Rasanya wuah....pake jaket dengan matahari terik, lengkap deh seperti direbus.


Merengsek melangkah ke dalam....wuah...daerahnya gersang, lebih panas dan berdebu. Sovereign Hill ternyata adalah sebuah desa yang penduduknya masih mempertahankan kehidupan seperti jamannya Lauranya Michael London. Rumah desa rata-rata dibangun dari kayu.. Unik memang, kehidupan penduduknya seperti tidak tersentuh dengan modernisasi daerah luar. Semua unsur masyarakat ada,... dari anak kecil (ada sekolahan juga), dokter, polisi, malingnya dll.








Aku bertanya-tanya, kok bisa ya..? Apa mereka disuruh dan digaji untuk bekerja di daerah turis ini dan di luar berlaku normal?. Kemungkinan besar alasan yang kuterima secara logika yah itu. Apalagi malingnya...seorang pemuda dengan tampang lusuh dan baju belang-belang tampak sedang memainkan peranannya di Bank. Namun, beberapa saat kemudian, aku juga menemuinya di kantor pos, sedang ngomong dengan petugas disana.

Tapi pemerintah Australia pastinya tidak akan merestui jika memang tujuannya murni hanya uang, karena ada anak-anak yang belum dewasa terlibat disini. Mereka masih usia sekolah, dan peraturan negara ini sangat ketat melarang memperkerjakan seseorang dibawah umur. Sayang tidak ada orang luar/ guide tempatku untuk bertanya...

Kadang malah terlihat bahwa anak-anak sekolah yang berpakaian ala Laura dan kawan-kawan tidak seperti bermain sandiwara atau berakting untuk satu atau dua hari saja. Buktinya, ada yang ngambek, marahan ama gurunya dan menangis di pojok. Mendengar mereka berbicara antar sesamanya tentang materi pelajaran...lha...sepertinya ini memang asli kehidupan sehari-hari. Hal ini berbeda dengan menghafal dialog...Aku sangat penasaran dengan kehidupan ini. Setengah percaya kalau mereka melakukan ini ”for real life everyday”. Namun melihat dari cara anak-anak kecil itu bergaul, berbicara, dan menjawab pertanyaan kita...aduh apa iya..ya?.

Mereka luar biasa sangat sopan, sangat bertata krama. Mirip dengan kehidupan kraton kali ya ?. Anak-anak berjalan tidak akan mendahului orang dewasa sebelum mereka minta izin terlebih dahulu. Caranya menjawab pertanyaan juga sangat halus, dan bahasa Inggrisnya santun banget.


Ibu-ibu juga berseliweran, sebagian ada yang menjinjing roti yang baunya semerbak banget...wuah jadi ingat perut. Waktunya makan neh... Untung JQ sempat bikin mie, perutku dah bosan dengan roti dan kentang melulu. Perut indoku gak mau kompromi, dianggap itu adalah snack bukan makan. Jadi seberapa banyakpun kumasukin... tetap berteriak makaaaaaan. Hiks... Kita makan di tempat yang telah disediakan pengelola daerah wisata tersebut. Bangunan yang fungsinya seperti kantin, menjual makanan dan minuman. Tapi tetap bergaya jaman dahulu kala..kecuali lemari es dan alat dapurnya.

Setelah makan,sedikit istirahat untuk memperoleh tenaga baru... perjalanan keliling desa dilanjutkan. Well, sempat berfoto dengan lady cantik...., namun penasaran mencari cowboy. Lumayan kan jika ketemu duplikatnya Orlando Bloom ala Braveheart di sini dan berfoto narsis. Namun sayang usahaku gak berhasil...
Dimana para cowboy ya...?


Looking for my cowboy.., eh ketemunya si prajurit yang angkuh..

Oh ya..di Sovereign Hill ini ada ditawarkan juga wisata mencari emas. Namun harus mendaftar dan bayar lagi. Mencari emas ini dilakukan benar-benar di daerah tambang. Jika dapat emas...pengunjung berhak membawa pulang. Hmm menggiurkan juga ya..., emasnya juga bisa dijual on site.

Namun karena terik banget (dan bayar lagi..??) jadi malas ikut tour ini. Apalagi kita bawa anak-anak...kasihan mereka. Karena masih penasaran, maka aku, Wayan, JQ dan Adi membuntuti rombongan tour tersebut. Maksudnya melihat-lihat mekanismenya. Namun belum apa-apa..kami kecele. Karena rombongan tersebut masuk ke bangunan yang dijaga..tanpa tiket..anda tidak boleh masuk. Kecian deh kita....

Beberapa kereta kuda berseliweran. Ada kereta kuda yang belakangnya membawa gentong-gentong air, ternyata berfungsi menyirami jalan desa yang kering. Yang menarik adalah kereta kuda ala Sherlock Holems yang ternyata sekali lagi harus bayar untuk bisa memakainya keliling desa. Eh..ternyata ada juga permainan bowling jaman dahulu kala disini. Bolanya dibuat dari batu yang dibulatkan, jalurnya dari kayu dan pinnya juga dari batu yang terdapat diujung jalur. Ah..ha...permainan ini gratis alias gretong...thank you..!!

Kira-kira jam 2 an ada marching band dengan memakai kostum serdadu Inggris mengitari desa. Mereka berputar dua kali. Katanya sih bakalan ada upacara, gak tahu juga upacara apaan. Upacara diadakan, ada penghormatan ke komandan dan ih..paka tembakan segala.yah ke udara pastinya.. Aku melihat upacara ini seperti upacara hukuman tembakan. Mungkin dulu seperti ini ya... para maling katanya dulu langsung di tembak atau digantung saja. Wes dah mati..masalah selesai..Hiiii..





Sudah cukup puas mengitari desa, kami keluar dan melangkah ke seberang jalan ke musem emasnya Sovereign Hill. Di depan museum ini ada patung seorang bapak tua. Jangan sangka kalau dia adalah pahlawan dengan sifat yang baik dan berjasa bagi kota, ternyata bapak ini dulunya pemabuk, penjudi, tapi juga sekaligus penambang kelas kakap di sini. Museum ini tertata apik, dan menceritakan garis besar kehidupan penambang di kota ini dulunya. Beberapa bongkah batu berwarna kuning terdapat di dalam kaca. Emas..???, ntahlah karena ukurannya besar banget. Desain interiornya bagus, ditata modern, ..tidak monoton hanya foto dan dysplai saja. Sebelum pengunjung keluar, mereka melewati bagian yang menjual perhiasan-perhiasan emas. Wuah..mahal... bahkan jika dibanding beli emas di Indo. Lagian kayanya modelnya biasa-biasa aja tuh.. (karena gak sanggup beli..he..he).

Ada accident kecil yang terjadi, si kecil berdua , Erika dan Erlan tidak boleh membawa es krimnya ke dalam museum. Kontan saja mereka protes..namun penjaga museum dengan sabar menjelaskan kalau mereka keluar maka es krimnya akan diberikan kembali . Sayangnya begitu keluar...es krim yang dititipkan tadi telah cair menjadi air karena cuaca yang panas...so terpaksalah sang mama harus beli es krim yang baru.

Walaupun gagal bertemu dengan koboi, wisata ke Sovereign Hill ini sangat menyenangkan. Jam 4 an, rombongan berangkat kembali pulang ke Melbourne. Para kurcaci kecil yang saat berangkat tadi heboh, sekarang terkulai, tertidur di kereta api. Kurcaci besar...sama saja..molor.

Segar kembali di Melbourne. Sempat menikmati city rail, dan makan malam kemudian rombongan memutuskan untuk bubar. Jam telah menunjukan angka 6 lebih, para guide Melbourne undur diri. Adi dan JQ akan pergi ke festival Sulawesi di Melbourne dan sayangnya mereka tidak punya tiket ekstra untuk kami. Mba Ayu dan beli Made mengantar pulang kedua anaknya yang kelelahan. Jadi tinggal aku dan Wayan.... haruskah kami pulang?

No way....
Dengan berbekal peta, kenekatan,dan keyakinan kalau kota Melbourne itu lebih rapi dari Sydney karena dibagi menurut blok yang terkotak-kotak saja oleh tremnya...maka kami browsing Melbourne lagi di waktu malam. Lagian udah beli tiket one day tripernya Melbourne. Sayang kan.... (Sebetulnya karena dominan didesak Wayan yang jealous karena aku dah sempat jalan-jalan di Melbourne pada malam sebelumnya.. Hiks.)

Kali ini aku yang menjadi guide dadakan menunjukkan daerah kota yang dijelajahi bersama JQ. Federation square, riverside disamping Flinders station dan pertunjukan api di Crown hotel. Setelah melihat lidah api di menaranya Crown...kami beruda melihat bangunan yang mirip-mirip menara Eiffel dari kejauhan. Yakin kalau bangunannya cukup dekat, maka berjuang menyelidiki dimana bangunan tersebut. Tapi nihil, perjalanan mentok ke daerah perkantoran yang sunyiiii...wuah..kayanya sudah harus pulang neh.

Akhirnya kami berdua memutuskan untuk pulang. Untung pada saat yang sama JQ juga pulang. Kita janjian untuk ketemu di Flinders stationnya Melbourne sehingga bisa sama-sama pulang ke Clayton. Terus terang aku masih agak bingung dan disorientasi kalau pulang sendiri. Ditambah lagi kebiasaan yang sama baik di Sydney maupun di Melbourne, lampu rumah mereka jarang hidup diwaktu malam. Lampu jalan juga jarang-jarang. Walaupun ada rumah yang menghidupkan lampu tempel di depan rumahnya...cahayanya sangat redup..nyaris remang-remang. Di Sydney, ketika masih tinggal di Dullwich Hill aku sering nyasar gara-gara masalah ini, salah turun halte..akibatnya jalan harus jalan dari halte tersebut ke rumah. Nunggu bis lagi..makan waktu setengah jam lagi. Beda dengan Indo yang terang benderang. Padahal kita katanya lebih miskin dan lebih terancam krisis energi ya dibanding mereka?

Karena merasa belum puas browsing Melbourne,maka acara ini direncanaan untuk disambung keesokan harinya. Kebetulan ada Indonesian Festival di Dockland, daerah dekat pelabuhannya Melbounre. JQ kebetulan ada pesta perpisahan dengan profesornya jam 10 pagi maka aku terpaksa harus soliter lagi jalan-jalan di kota. Wayan juga bilang agak telat ke Dockland karena sudah janjian untuk bertemu dengan teman lama-nya.

Well...soliter..siapa takut...!!!

3 comments:

Moh Bakhrian Syah said...

panjang..... capek deh...

tapi seru kan di daerah berdebu dan gersang ini...

pasti pengen lagi...

si yayang Bloom? hehehee... kok malah mirip ahmad dhani ya? hahaha

Marshmallow said...

makasih loh referensinya, en.
jadi pengen banget ke melbourne.
dan kalau ke sana aku musti ngunjungin ballarat.

kayaknya itu adalah perkampungan asli yang dilestarikan, persis beberapa perkampungan di indonesia juga, en.
kehidupan mereka ekslusif seperti sekte-sekte tertentu, semacam samaritan di US.
barangkali ya.

Eni said...

@ bakhri : eh..ini mah masih ada sambungannya...xi..xi...udah diparo dua gara-gara pertimbangan org yang baca puasa.

@hemma : ho..oh..pikiranku juga begitu
kalo disuruh-suruhg pemerintah pasti gak sedemikian sukarela dan ikhlas ya..?
kaya kita neh..ha..ha